Etika dan regulasi pengunaan
teknologi komunikasi di Indonesia kini sudah diatur dalam Undang Undang
ITE yang terdiri dari 54 pasal. Seiring dengan berkembangnya teknologi
informasi dan cepatnya dinamika yang terjadi di dunia maya, maka
kemungkinan demi kemungkinan terjadinya bentuk tindak kejahatan dan
kriminalitas di dunia maya semakin besar pula. Berbeda dengan era
sebelum berkembangnya internet di Indonesia, dimana peraturan dan
regulasi yang mengatur pengguna dunia maya dirasa belum terlalu
mendesak. Sementara kini, internet dan masyarakat seolah sulit
dipisahkan, terutama bagi masyarakat yang dekat dengan perkotaan.
Di Indonesia, UU ITE (Informasi dan
Transaksi Elektronik) pertamakali disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008. Dengan pertimbangan
bahwa arus globalisasi informasi yang begitu populer dengan dukungan
internet, telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
global yang berkontribusi dalam arus informasi dunia. Sehingga
pemerintah merasa perlu membangun aturan yang berkenaan dengan
pengelolaan teknologi komunikasi dan transaksi elektronik demi menjaga
stabilitas ditengah masyarakat Indonesia yang kini sudah menjadi bagian
dari globalisasi. Dengan adanya regulasi yang mengatur penggunaannya,
pemerintah mengharapkan adanya optimalisasi pembangunan teknologi
informasi, agar distribusinya bisa merata, menyebar, dan menyentuh
seluruh lapisan kalangan masyarakat demi mencerdaskan serta memajukan
kehidupan masyarakat dan negara.
Pertimbangan lainnya antara lain,
mengingat kemajuan teknologi informasi kini demikian pesat dan sangat
dinamis, sehingga dinilai telah mampu merubah berbagai aspek kehidupan
manusia dalam berbagai bidang. Sehingga, dapat memperngaruhi lahirnya
ladang-ladang hukum baru secara langsung.
UU ITE juga dipertimbangkan agar
mampu menjadikan perkembangan teknologi infomasi sebagai media yang
dapat menjaga, mempersatukan, juga memperkukuh kesatuan, persatuan, da
integeritas nasional. Selain itu, pemerintah juga menyadari bahwa
teknologi informasi, di era modern ini telah memegang peran penting bagi
perdagangan dan perekonomian nasional yang berpotensi membawa
kesejahteraan publik.
Mengingat luasnya pengaruh
teknologi informasi di Indonesia, lahirlah UU ITE yang menjadi alat bagi
pemerintah untuk mengontrol penggunaan hingga penyalahgunaan teknologi
informasi maupun transaksi elektronik.
Bab 1 dalam UU ITE ini membahas mengenai ketentuan umum UU ITE itu sendiri, terdiri dari pasal 1 dan pasal 2.
Bab2 membahas perihal asas dan tujuan UU ITE, terdiri dari 2 pasal, yakni pasal 3 dan 4.
Bab 3 membahas mengenai informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik, terdiri dari pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12.
Bab 4 dari UU ini membahas mengenai
penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik, terdiri
dari 2 subbab. Subbab pertama mengatur tentang sertifikasi elektronik,
terdiri dari pasal 13 dan pasal 14. Subbab kedua mengatur mengenai
penyelenggaraan sistem elektronik, terdiri dari pasal 15 dan pasal 16.
Bab 5 mengatur seputar transaksi elektronik yang terkandung dalam pasal 17, 18, 19, 20, 21, 22.
Bab 6 mengatur berkenaan dengan
nama domain, kekayaan intelektual, dan perlindungan hak pribadi yang
terdiri dari pasal 23, 24, 25, 26.
Bab 7 mengatur tentang perbuatan
yang dilarang dalam penggunaan teknologi informasi, terdiri dari 10
pasal, dari pasal 27 hingga pasal 37.
Bab 8 mengatur lanjutan dari perbuatan yang dilarang, yakni tindak penyelesaian sengketa. Terdiri dari pasal 38 dan pasal 39.
Bab 9 megatur tentang peran
pemerintah dan peran masyarakat dalam menyikapi perkembangan dan
dinamika ITE di Indonesia. Terdiri dari pasal 40 dan pasal 41.
Bab 10 membahas tentang proses dan
prosedur penyidikan yang akan dilakukan dalam kasus pelanggaran UU ITE.
Terdiri dari 3 pasal, yakni 42, 43, dan 44.
Bab 11 mengatur tentang ketentuan pidana yang dapat digunakan untuk menjerat pelanggar UU ITE. Terdiri dari pasal 45 hingga 52.
Bab 12 membahas ketentuan peralihan, hanya terdiri dari pasal 53.
Bab 13 berisi ketentuan penutup yang hanya terdiri dari pasal 54.
Dari 54 pasal yang merangkum
mengenai peraturan dan regulasi UU ITE di Indonesia, terdapat beberapa
kelemahan-kelemahan. Yakni mengenai abstraknya ketentuan hukum yang
berkenaan dengan penipuan di dunia maya. Belum ada penjelasan yang
memisahkan bentuk-bentuk penipuan dan bagaimana barometer yang menakar
seberapa hukuman yang layak dijatuhkan untuk pelanggaran yang bagaimana.
Hingga saat ini masih sulit melacak dan menjerat pelaku penipuan di
dunia maya.
Selain itu, aturan-aturan yang
mengikat berkenaan dengan pencemaran nama baik dan penghinaan melalui
dunia maya. Sangat absurd karena mengingat dunia maya yang begitu bebas
dan luas, sementara kriteria penghinaan dan pencemaran nama baik itu
sendiri tidak begitu jelas tergambar dalam UU ITE tersebut.
Contoh kasus yang
pernah menjerat Prita Mulyasari, sempat menghebohkan masyarakat.
Pasalnya, tersangka hanya mengelukan pelayanan rumah sakit yang dinilai
mengecewakan. Namun, karena abstraknya kriteria pencemaran nama baik
yang diatur dalam Undang-undang, maka keluhan konsumen-pun dapat
dibelokkan oleh korporasi sebagai bentuk pencemaran nama baik.
Bebasnya dunia maya, yang semakin
mengaburkan batas-batas wilayah negara juga menjadi tatangan bagi UU ITE
Indonesia. UU ITE hanya bisa menjerat pelaku yang berada dibawah
naungan hukum Republik Indonesia, sementara apabila pelaku berada diluar
teritorial Indonesia, sementara korban adalah warga Indonesia, maka
sulit untuk menjerat pelaku.